Santo Tarsisius

Santo Pelindung Sekolah Tarsisius 2

Santo Tarsisius (bahasa Inggris: St. Tarcisius atau Tarsicius; bahasa Italia dan bahasa Spanyol: San Tarsicio atau Tarcisio) adalah seorang martir awal Gereja Kristen yang hidup pada abad ke-3.

Wikipedia

Kisah Kemartiran Santo Tarsisius

Santo Tarsisius adalah seorang martir awal kekristenan di Roma. Keberadaan martir muda ini ditemukan dalam sebuah puisi yang ditulis oleh Paus Damasus untuk menghormatinya. Dalam puisi itu Paus Damasus membandingkan kemartiran Santo Tarsisius dengan kemartiran Santo Stefanus di abad pertama. Mereka sama-sama mati dirajam demi iman akan Yesus Kristus. Stefanus mati dirajam orang-orang Yahudi di Yerusalem dan Tarsisius yang sedang membawa Sakramen Mahakudus, mati diserang dan dirajam oleh teman-temannya yang kafir karena mempertahankan Sakramen Mahakudus yang adalah Tubuh Kristus sendiri.

St. Tarsisius lahir di Roma tahun 263 M. Dalam usia yang masih remaja, yaitu 12 tahun, ia menyerahkan dirinya menjadi Martir Kristus.

Paus Damasus menulis : “… Ketika sebuah kelompok jahat fanatic melempari diri Tarsisius yang membawa Ekaristi, ingin Sakramen itu tak dicemarkan, anak laki-laki itu lebih suka memberikan nyawanya daripada memberikan Tubuh Kristus kepada para anjing liar …”

Selain tulisan dari Paus Damasus, tidak ada catatan tentang kehidupan St. Tarsisius. Tradisi menyebutkan bahwa Santo Tarsisius adalah seorang putera altar yang menerima mahkota kemartiran saat sedang mengantarkan Sakramen Ekaristi bagi para tahanan kristiani yang akan dihukum mati.

Kemartirannya terjadi pada masa penganiayaan umat Kristiani di pertengahan abad ketiga, pada masa pemerintahan kaisar Valerianus.

Santo Tarsisius dimakamkan di Katakombe Santo Kalisitus di Roma. Sebuah Prasasti yang indah dikemudian hari dibangun oleh Paus Damasus dimakamnya.

Pengorbanan Tarsisius Untuk Sakramen Mahakudus

Walaupun baru beranjak remaja, Tarsisius muda memiliki keyakinan religius yang amat kuat. Penganiayaan dan penderitaan orang-orang kristiani sama sekali tidak membuat Tarsisius menjadi kecut, ciut nyali dan meragukan serta melepaskan iman kristianinya.

Bersama ibunya, Tarsisius secara rutin mengikuti misa pagi yang biasanya dilakukan di tempat-tempat tersembunyi atau katekombe.

“Kita sama seperti saudara-saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa- singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?” demikian kata Imam setelah perayaan Ekaristi selesai.

Mendengar pertanyaan itu, umat saling memandang ketakutan. “Pastor, Anda tak boleh pergi. Pastor pasti ditangkap,” kata salah seorang umat.

Dari umat yang hadir ada seorang serdadu Roma yang baru saja bertobat. Mantan serdadu ini menawarkan diri untuk membawa Sakramen itu. Namun, umat juga keberatan karena mantan serdadu ini pun sedang dicari-cari.

Tarsisius merasa mampu melaksanakan tugas mulia itu. Tanpa bersuara, ia menengadah ke arah ibunya. Ibunya mengerti maksud Tarsisius dan menganggukkan kepala.

Tarsisius berdiri dan berkata, “Pastor, biarkan aku ke sana membawa Tubuh Kristus untuk saudara-saudara kita.”

Pastor menggeleng, “Engkau masih terlalu kecil, nak. Kalau serdadu Romawi menangkapmu, apa yang akan kamu perbuat?”

Tarsisius berusaha meyakinkan pastor. “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.”

Melihat kesungguhan dan keberanian Tarsisius, imam itu lalu membungkus Sakramen Mahakudus dan memberikannya kepada Tarsisius.

Perjalanan melewati daerah serdadu Romawi aman. Namun, ketika melewati sebuah lapangan, ia melihat teman-temannya sedang bermain, halangan muncul. Teman-temannya mengajaknya bermain, tetapi Tarsisius menolak. Teman-temannya heran. Mereka mengerumuninya.

Ketika mereka melihat Tarsisius memegang sesuatu dengan tangan dada, mereka menarik tangan Tarsisius dan berusaha melihat apa yang ada di dalamnya. Tarsisius tidak melepaskan tangannya. Bahkan, ia semakin kuat mempertahankan apa yang dipegangnya.

Tarsisius terjatuh. Satu di antara anak-anak itu kesal, karena tidak berhasil melepaskan tangan Tarsisius. Katanya, “Ayo kita buktikan siapa yang paling kuat!” Ia mengambil batu dan melemparkannya ke arah Tarsisius. Tarsisius bergeming namun tangannya tetap melindungi sesuatu di dadanya. Bahkan ia semakin kuat memeluk Sakramen Mahakudus di dadanya. Anak-anak itu semakin marah dan brutal. Mereka merajam Tarsisius dengan batu berkali-kali.

Beberapa menit kemudian, Tarsisius sudah semakin tak berdaya. Tiba-tiba terdengar suara, “Berhenti…..! Mengapa kalian menganiaya dia?” Anak-anak itu lari terbirit-birit. Ternyata, suara itu berasal dari serdadu Romawi yang bertobat, yang sebelumnya telah menawarkan diri untuk membawa Sakramen Mahakudus. Mantan serdadu ini mengikuti Tarsisius dari jauh. Ia lari ke arah Tarsisius, memeluknya dengan perasaan sedih. Ia menggendong Tarsisius yang sudah tak berdaya. “Tarsisius, Tarsisius,” panggilnya dengan suara halus. Tarsisius membuka matanya yang memar dan berkata pelan, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah mengatakan itu, Tarsisius menutup matanya.

Tarsisius meninggal dalam perjalanan pulang menuju katakombe. Jasadnya dimakamkan di katakombe santo Kalisitus, Roma.